Welcome

Allah Allah Kiya Karo

Kamis, 24 Juni 2010

PERANAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A. Judul
PERANAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM MENUNJANG PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR (SD).

B. Latar Belakang Masalah
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam perencanaan pembangunan mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah. Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000). Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya eksistensi mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: 3). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan, dan kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin mengglobalnya tatanan pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara tetangga di kawasan ASEAN. Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang ditetapkan oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand dan Fhilipina lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).
Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu sumber daya manusia Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat, tetapi tetap jalan ditempat, bahkan teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun 2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.
Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan berada pada pendidikan persekolahan. Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan kita.
Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management.
Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat. Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.



C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana peranan komite sekolah dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
- Untuk mengetahui bagaimana peranan Manajemen Berbasis Sekolah dalam proses pembelajaran di Sekolah Dasar se Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya?

E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah agar sekolah dapat dikembangkan untuk memenuhi permintaan berbagai pihak konstituen, yakni pemerintah, para ahli pendidikan, orang tua siswa, siswa itu sendiri serta berbagai anggota masyarakat yang menaruh harapan-harapan pada pendidikan.

F. Ruang Lingkup dan Definisi Operasional
1. Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan waktu dan kemampuan yang penulis miliki, maka permasalahan dalam penelitian ini penulis batasi dengan harapan penelitian ini lebih terarah dan tidak terlalu luas dalam pembahasannya.
Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini dilakukan di SD Negeri se Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya tahun ajaran 2009/2010.
2. Adapun yang menjadi objek penelitiannya adalah seluruh komponen sekolah dasar yang terlibat di dalamnya.

G. Landasan Teoritis
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi, penyadaran dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga pilar fungsi sekolah yakni fungsi pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi pendidikan (Danim, 2007:1).
Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga pendidikan itu sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran atau fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sebagai instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua orang.
Pendidikan formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral dengan partisipasi total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran bukan sebagai alat pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu mengemban tugas pembebasan, berupa penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan dosen harus mampu membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran bagi lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka. Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan normatif, termasuk fenomena moralitas.
Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma dalam sosok konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi budaya, ditandai denga makin terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan formal benar-benar nyata di dalam alur perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu sekitar 100 tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan. Bersamaan dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah diproduksi konsep dan teori yang radikal tentang alam, realitas dan epistemologi.
Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata revolusi di bidang keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan evolusi spesies-genetik nonrekayasa. Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya yang signifikan. Fungsi reproduksi atau fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana pengembangan, reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis buku, pengamat, pendidik, guru, tutor, widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian, penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan sosoknya, meski belum menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf sekarang, apalagi mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah lahir sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar siswa.
Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar.
Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan masyarakat agar lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak pada apakah format manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS yang memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling esensial adalah apakah dengan perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara sentralistik ini, terutama dilihat dari kepentingan pendidikan anak.
Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta didik pada sekolah-sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju perbaikan mutu melalui perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep Kaizen, bahwa kemajuan dicapai bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena perubahan-perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan.
Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak utuh sebagai pendukung utama, demikian juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis.
Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala sekolah yang handal dalam memimpin persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa terminology Site-Based Leadership digunakan sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka diperlukan perspektif dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah.
Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).
Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki.
Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.
Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah. Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para professional pendidikan yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki apa yang tidak dapat anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan masyarakat, sekalipun ada sarana untuk mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur kemajuan di kelas. Komunitas menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah.
Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan, perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu.
Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan, misalnya mengisi kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak menganggapnya sebagai masalah.

H. Metode Penelitian
Menurut Arikunto (2006: 160) menyatakan bahwa “metode adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitian”. Metode dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan angket atau kuisioner (Questionnaires).
Dalam penelitian ini peneliti akan mengurakan beberapa hal metode penelitian antara lain sebagai berikut:
1.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memilih pendekatan kualifatif dengan menggunakan metode deskriptif. Margono (2003: 36) mengatakan: “penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.



1.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5-10 Mei 2010 di semua sekolah dasar Negeri se Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

1.3 Subjek Penelitian
Dalam menentukan subjek penelitian penulis menggunakan teknik total sampling. Adapun yang menjadi subjek penelitian ini adalah seluruh komponen sekolah yang terkait di dalamnya.

I. Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.
3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1) penetapan dan telaah tujuan sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah, (3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah.
DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta.

Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Barner, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Successful Leadership (Kepemimpinan Sukses). Jakarta: Interaksara.

Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Jerome S. Arcaro. 2006. Quality in Education: An Impelentation Handbook.
Penterjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.

Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar Pendidikan. No 1 Tahun X April 1991. Bandung: IKIP.

Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta:Insist Press. Cindelaras. Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar: